Postingan ini sebagai rangkaian cerita nostalgia weblog ask sewaktu merantau di Kabupaten Merauke yang dulunya masih sebuah kabupaten dengan ibukota provinsi Jayapura. Data di bawah ini weblog ask dapat dari http://www.tempo.co.id/ sebagai bahan awal agar cerita nanti bisa lebih mengenal tokoh dalam cerita tersebut. Willem Onde di lingkungan OPM (organisasi papua merdeka) mempunyai pangkat (waktu itu) "Kolonel". Silakan simak data di bawah ini :
Willem Onde lahir di Merauke 1 Januari 1961. Sejak usia 12 tahun, ia sudah bergabung dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka) melawan TNI. Tahun 1976, ketika gempuran TNI semakin kuat, ia ikut mengungsi ke hutan Asiki - sekitar delapan jam dari Merauke. Di belantara hutan Asiki itulah, ia dan pejuang lainnya bertahan hidup. Keberaniannya menghadapi TNI, membuat sejumlah kawan mempercayainya sebagai komandan batalion. Kemudian, pada 1994, Onde didaulat menjadi Panglima OPM di Merauke. Untuk itu ia diberi jabatan Kolonel.
Kini, menurut pengakuannya, Onde memiliki 6000 pejuang bersenjata dengan 15 batalion yang menyebar di seluruh Merauke. Sejumlah senjata itu, kata Willem, direbutnya dari TNI sewaktu bertempur. Sebagian lagi adalah senjata rakitan sendiri dan dibeli dari sejumlah sumber. Sayangnya, Onde enggan menyebutkan siapa sumbernya. "Itu rahasia saya," katanya. Dengan senjata yang dimilikinya itulah pasukan Willem Onde bertempur melawan TNI di belantara Merauke, yang suatu waktu, bila terdesak, mereka masuk ke hutan Asiki.
Tahun 1997, ia sempat turun gunung dan membuat perjanjian gencatan senjata dengan TNI. Gencatan senjata itu ditandatangani di Merauke dengan Mayjen Jhony Lumintang, Pangdam Trikora saat itu. Pada tahun yang sama, ia juga sempat bertemu dengan utusan Letjen Prabowo Subianto, Pangkostrad saat itu, di Merauke. Dengan utusan Prabowo itu, Onde juga menyepakati gencatan senjata dan perdamaian. Untuk perdamaian itu ia rela menyerahkan sekitar 75 pucuk senjata organiknya kepada TNI.
Kendati masih tinggal di hutan, Onde memiliki sejumlah peralatan komunikasi yang terbilang moderen. Di samping pesawat Orari, kamera foto, dan sepeda motor, lelaki berjambang lebat ini juga memiliki handphone, alat komunikasi yang biasa digunakan oleh kelas menengah kota. Tapi, handphone itu baru berfungsi jika Onde turun ke kota Merauke atau di hutan-hutan pingir kota Merauke. Sementara bila sedang berada di belantara Asiki, Onde lebih mengandalkan alat orarinya.
Karena lama di hutan, rambutnya tak pernah dicukur. Tak heran kalau kini panjang rambutnya lebih dari setengah meter. Untuk merapikannya, Willem Onde menguncirnya dalam beberapa kelompok. Dia sendiri lebih suka disebut berambut gimbal. Rambutnya itu tidak pernah disisir sejak ia masuk hutan, sejak tahun tahun 1976. " Kalau beli sisir harus ke kota, dan itu berarti kami harus siap perang dengan TNI. Masak kami harus perang karena mau beli sisir saja" kata Onde kepada TEMPO. (Wens)
Cerita selanjutnya adalah saat weblog ask secara tidak sengaja ketemu Willem Onde sewaktu makan siang di Tanah Merah.
Sumber : http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/pro-willemonde.html
Kini, menurut pengakuannya, Onde memiliki 6000 pejuang bersenjata dengan 15 batalion yang menyebar di seluruh Merauke. Sejumlah senjata itu, kata Willem, direbutnya dari TNI sewaktu bertempur. Sebagian lagi adalah senjata rakitan sendiri dan dibeli dari sejumlah sumber. Sayangnya, Onde enggan menyebutkan siapa sumbernya. "Itu rahasia saya," katanya. Dengan senjata yang dimilikinya itulah pasukan Willem Onde bertempur melawan TNI di belantara Merauke, yang suatu waktu, bila terdesak, mereka masuk ke hutan Asiki.
Tahun 1997, ia sempat turun gunung dan membuat perjanjian gencatan senjata dengan TNI. Gencatan senjata itu ditandatangani di Merauke dengan Mayjen Jhony Lumintang, Pangdam Trikora saat itu. Pada tahun yang sama, ia juga sempat bertemu dengan utusan Letjen Prabowo Subianto, Pangkostrad saat itu, di Merauke. Dengan utusan Prabowo itu, Onde juga menyepakati gencatan senjata dan perdamaian. Untuk perdamaian itu ia rela menyerahkan sekitar 75 pucuk senjata organiknya kepada TNI.
Kendati masih tinggal di hutan, Onde memiliki sejumlah peralatan komunikasi yang terbilang moderen. Di samping pesawat Orari, kamera foto, dan sepeda motor, lelaki berjambang lebat ini juga memiliki handphone, alat komunikasi yang biasa digunakan oleh kelas menengah kota. Tapi, handphone itu baru berfungsi jika Onde turun ke kota Merauke atau di hutan-hutan pingir kota Merauke. Sementara bila sedang berada di belantara Asiki, Onde lebih mengandalkan alat orarinya.
Karena lama di hutan, rambutnya tak pernah dicukur. Tak heran kalau kini panjang rambutnya lebih dari setengah meter. Untuk merapikannya, Willem Onde menguncirnya dalam beberapa kelompok. Dia sendiri lebih suka disebut berambut gimbal. Rambutnya itu tidak pernah disisir sejak ia masuk hutan, sejak tahun tahun 1976. " Kalau beli sisir harus ke kota, dan itu berarti kami harus siap perang dengan TNI. Masak kami harus perang karena mau beli sisir saja" kata Onde kepada TEMPO. (Wens)
Cerita selanjutnya adalah saat weblog ask secara tidak sengaja ketemu Willem Onde sewaktu makan siang di Tanah Merah.
Sumber : http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/pro-willemonde.html
Mantef ceritanya tuh bang..hee
ReplyDeletetrims sdh ba-elang
ReplyDelete